TANAMAN KANGKUNG AIR (IPOMOEA AQUATICA FORKSS)
TANAMAN KANGKUNG AIR
(IPOMOEA AQUATICA FORKSS)
(SR.Pakpahan, SST)
Morfologi Tanaman kangkung air
Kangkung air (Ipomoea aquatica Forkss) merupakan tanaman yang dapat tumbuh hampir di semua tempat di daerah tropis, mulai dari dataran rendah sampai pada dataran tinggi terutama lahan terbuka yang terkena sinar matahari secara langsung. Pada saat ini penyebaran tanaman kangkung air meliputi sebagian besar daerah Asia, Afrika, dan Australia.
Kangkung air (Ipomoea aquatic Forssk) memiliki daun panjang dengan ujung agak tumpul berwarna hijau kelam dan bunga berwarna kekuning – kuningan atau ungu. Bunga kangkung air berwarna putih kemerah – merahan, ukuran batang dan daun lebih besar dibandingkan dengan daun kangkung darat, batang berwarna hijau dan berbiji sedikit. Buah kangkung memiliki diameter 7 – 9 mm, halus, berwarna kecoklatan dan berisi 2 – 4 biji (Maryam, 2009). Sesuai dengan namanya tanaman kangkung air tumbuh pada tanah yang mengandung air dan lumpur. Curah hujan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kangkung berkisar 500 – 5000 mm pertahun. Suhu yang dibutuhkan rata – rata 28˚C. Waktu tanam yang baik untuk penanaman kangkung air ialah pada musim kemarau dikarenakan pada musim penghujan lahan penanaman kangkung air akan semakin banyak tergenang air dan kangkung akan semakin banyak terendam lumpur sehingga dapat menyebabkan rusaknya tanaman kangkung air tersebut. Menurut Rukmana (2006). Taksonomi tanaman kangkung adalah sebagai berikut :
Gambar 1.Kangkung air (dokumen pribadi)
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Divisio : Spermatophyta / Magnoliophyta (tumbahan berbunga)
Sub diviso : Angiospermae
Kelas : Dicotoledoneae
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies :Ipomoea aquatica Forssk
Komponen Kimia dan Manfaat Kangkung Air
Menurut peraturan Badan Peraturan Obat dan Makanan (BPOM) nomor 34 tahun 2019 tentang kategori pangan, bagian yang dapat digunakan pada tanaman kangkung air (Ipomoea aquatic Forssk) adalah bagian daun (BPOM, 2019). Komposisi kimia tanaman kangkung air dapat dilihat berikut ini:
Komposisi kimia kangkung air dalam 100 gram bahan (gram), yaitu:
Air 89,7
Karbohidrat 5,4
Protein 3,0
Lemak 0,3
Kalori 0,029 (kkal)
Kalsium 0,073
Potasium 0,05
Besi 0,0025
Vitamin A 6300
Vitamin B 0,07
Vitamin C 0,032
Sumber : abiding,dkk (1990)
Kangkug air diiketahui mengandung berbagai senyawa kimia yang bermanfaat bagi kesehatan. Kangkung air mengandung senyawa polifenol, saponin, flavonoid (Komar,2012), pustaka lain menyebutkan adanya senyawa siosterol, karotenoid, dan hentriakontan di dalam tanaman kangkung air ini (Muhtadi, 2000). Menurut Yasmin,dkk (2009) daun dan batang kangkung dapat digunakan sebagai bahan antioksidan, bahan sitotoksik sebagai emetic, purgatif dan antidota terhadap arsenik. Potensi antioksidan pada kangkung air tersebut disebabkan salah satunya karena adanya kandungan fenolik seperti flavonoid. Salah satu kelebihan tanaman kangkung air ialah lebih sedikit mengandung pestisida, dikarenakan kangkung air tumbuh liar di daerah persawahan dan sungai. menurut Euis,dkk (2016) dampak penggunaan pestisida dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi petani, dan menurut Elvinali (2014), selain petani yang mengaplikasikan pestisida, keracunan pestisida dapat pula dialami oleh masyarakat yang mengkonsumi hasil pertanian termasuk sayuran melalui residu pestisida yang terkandung.
Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul yang memiliki sekelompok atom atau elektron yang tidak berpasangan. Setiap sel dalam tubuh menjalankan proses metabolisme yang akan menghasilkan radikal bebas yang ditandai dengan pembentukan reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas dapat terbentuk karena dipicu oleh adanya stressor, yaitu sinar UV, radiasi, serta aktivitas fisik. Proses terbentuknya radikal bebas diawali dengan molekul yang tidak memiliki electron berpasangan, mencoba mengambil elektron lain yang berada di sekitarnya. Proses ini disebut oksidasi yang kemudian akan membentuk sebuah molekul radikal bebas baru. Jika proses ini berlangsung terus menerus akan membentuk sebuah rantai reaksi yang dapat menghancurkan ribuan molekul lain.
Pembentukan radikal bebas berlangsung terus-menerus dalam tubuh manusia melalui metabolisme sel, peradangan, nutrisi maupun radiasi sinar-γ, sinar x, UV, bahan kimia pada makanan dan obat, polusi lingkungan serta pola makan.
Apabila radkal bebas bereaksi dengan komponen biologis (lipid, protein, dan DNA) akan menghasilkan senyawa teroksidasi dan terjadi kerusakan oksidatif (stress oksidatif). Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, dimana jumlah radikal bebas lebih besar dibandingkan dengan antioksidan. Stres oksidatif berhubungan erat dengan proses inflamasi sistemik, proliferasi sel endotel, apoptosis, serta vasokonstriksi (Khairun, 2017). Biasanya mekanisme pembentukan reaksi berantai radikal bebas terjadi melalui tiga tahapan reaksi, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Yostan,dkk., 2017)
a. Tahapan inisiasi
Tahapan inisiais merupakan langkah pertama terciptanya species radikal. Secara umum, hal ini merupakan peristiwa pembelahan homolitik yang jarang terjadi karena hambatan energy. Biasanya tahapan ini terbentuk karena pengaruh beberapa hal, seperti suhu tinggi, UV, ataupun katalis mengandung logam digunakan sebagai penghalang energi.
RH+O2→R˚+ROO˚+H2O
b. Tahapan propagasi
Tahapan propagasi merupakan tahapan rantai dari reaksi berantai radikal bebas. Setelah radikal bebas reaktif dihasilkan, akan menjadi pemicu untuk bereaksi dengan molekul stabil dan membentuk radikal bebas baru yang akan berlangsung secara terus–menerus dengan melibatkan abstraksi hidrogen atau penambahan radikal menjadi ikatan rangkap dan menghasilkan banyak radikal bebas.
R˚ + O2 →ROO˚
ROO˚ + RH → ROOH + R˚
c. Tahapan terminasi
pada tahapan terminasi reaksi radikal akan berhenti jika dua radikal saling bereaksi dan menghasilkan suatu species non radikal.
2R˚+R-R
R˚ + ROO˚ → ROOR
ROO˚ + ROO˚ → ROOH + H2O
(Keterangan : H = asam lemak tak jenuh; R = alkil radikal; ROO = peroksi radikal; RO. = alkoksi radikal; ROOH = hidroperoksida).
Senyawa Antioksidan
Senyawa antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Sayuti,dkk., 2015) dan tidak merusak sel tubuh. Mekanisme kerja antioksidan terdiri dari : menangkap radikal bebas, menghambat inisiasi rantai, menghambat dekomposisi peroksida, mencegah berlanjutnya abstraksi hydrogen, daya reduksi dan peningkatan katalis ion logam transisi (Vinayak,dkk 2013). Antioksidan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia, sedangkan antioksidan alami diperoleh dari hasil ekstraksi bahan–bahan alami diantaranya, yaitu tekoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, karoten, asam tanat, gallic acid (senyawa fenolik), ferullic acid, quercetin (flavonoid) dan sebagainya (Ketaren, 2008).
Antioksidan yang terdapat pada daun kangkung air berasal dari flavonoid. Menurut Winarsih (2007) flavonoid merupakan bagian dari senyawa fenolik yang terdapat pada pigmen tumbuh–tumbuhan. Bagian dari senyawa flavonoid yang mempunyai potensi antioksidan pada daun kangkung air adalah klorofil yang memberikan warna hijau pada tumbuhan, alga, dan bakteri fotosintetik (Nio,dkk., 2011). klorofil dimungkinkan mampu menangkap radikal bebas karena klorofil termasuk senyawa yang lipofilik (Burrat,dkk.,2001). Senyawa lipofilik ialah senyawa organic non polar yang lebih menyukai lemak atau minyak dan pelarut organik daripada air.Penelitian lebih lanjut oleh Prasad, dkk (2015) telah dilakukan isolasi senyawa 7-O-β-glukapiranosil-dihirokuersetin-3-O-α-d-glukopiranosid yang diketahui bertanggung jawab terhadap efek antioksidan pada daun kangkung.
Dari penelitian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH yang dilakukan oleh Dedi,dkk (2017) didapatkan hasil, IC50 sebesar 249,578 (µg/mL-) pada kangkung darat dan 276,989 (µg/mL-) pada kangkung air, hasil tersebut menunjukan aktivitas antioksidan pada kangkung darat lebih besar dari kangkung air, namun kangkung air memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan kangkung darat. Salah satu kelebihan tanaman kangkung air ialah tidak mengandung pestisida, dikarenakan kangkung air tumbuh liar di daerah persawahan dan sungai. menurut Euis,dkk (2016) dampak penggunaan pestisida dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi petani, dan menurut Elvinali (2014), selain petani yang mengaplikasikan pestisida, keracunan pestisida dapat pula dialami oleh masyarakat yang mengkonsumi hasil pertanian termasuk sayuran melalui residu pestisida yang terkandung di dalamnya.
Antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama, yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut disebut dengan antioksidan primer. Antioksidan primer mampu memberikan atom hydrogen secara cepat ke radikal lipid (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid. Fungsi kedua adalah fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipid ke bentuk lebih stabil (Gordon, 1990).
Antioksidan dalam pengertian kimia, merupakan senyawa pemberi elektron. Antioksidan berkerja dengan cara mendonorkan satu elektronya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa terhambat. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan electron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas. Secara fisiologis senyawa fenolik mempunyai beberapa aktivitas biologis, seperti antialergi, anti-inflamasi, antimikroba, antioksidan, antitrombotik, dan kardioprotektif (Aberoumnand,dkk., 2008).
Antioksidan alami merupakan senyawa yang digunakan untuk mencegah radikal bebas di dalam tubuh maupun luar tubuh yang berasal dari lingkungan sekitar seperti sinar UV atau sumber radiasi, asap rokok, asap kendaraan, makanan yang mengandung pestisida (zat kimia berbahaya) dan lain–lain. Kadar radikal bebas (Reactive Oxygen Species; ROS) yang terlalu tinggi, tidak mampu dinetralisir oleh antioksidan endogen sehingga akan terjadi keadaan yang tidak seimbang antara ROS dengan antioksidan sehingga terjadi cekaman oksidatif (Miguel, 2010). Pada keadaan cekaman oksidatif, kelebihan radikal bebas dapat menyerang sel dan bereaksi dengan lipida, protein dan asam nukleat sehingga menimbulkan kerusakan sel (Kris,dkk., 2004; Conforti, dkk., 2008). Senyawa yang diperlukan untuk melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas ialah senyawa antioksidan dan anti-inflamasi. Senyawa antioksidan akan menghambat atau memperlambat oksidasi melalui penangkapan radikal bebas, sedangkan senyawa anti-inflamasi akan berfungsi untuk menstabilkan membrane sel (Oyedapo,dkk., 1995;Sadiqueet,dkk., 1989; Shinde, dkk., 1999; Muriningsih,dkk., 2016).
Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode FRAP
FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) merupakan metode yang digunakan untuk menguji antioksidan dalam tumbuh–tumbuhan. Prisip uji dari metode FRAP adalah reaksi transfer electron dari antioksida ke senyawa Fe3+-TPTZ (Benzie,dkk., 1996). Senyawa Fe3+- TPTZ sendiri mewakili senyawa oksidator yang mungkin terdapat dalam tubuh dan dapat merusak sel–sel (Maryam, 2015). Kelebihan metode FRAP adalah murah, reagennya mudah disiapkan, cukup sederhana, dan cepat. Metoda FRAP dapat menentukan kandungan antioksidan total dari suatu bahan berdasarkan kemampuan senyawa antioksidan untuk mereduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga kekuatan antioksidan suatu senyawa dianalogikan dengan kemampuan mereduksi dari senyawa tersebut (Halvorsen,dkk., 2002).
Metode FRAP merupakan suatu metode penentuan kandungan antioksidan secara spektrofometri yang berdasarkan pada reduksi analog ferroin, kompleks Fe+ dari tripiridiltriazin Fe (TPTZ)+ menjadi kompleks Fe2+, yang berwarna biru intensif oleh antioksidan pada suasana asam.
Hasil pengujian diinterpretasikan dengan peningkatan absorbansi pada panjang gelombang 59 nm dan dapat disimpulkan sebagai jumlah Fe2+ (dalam mikromalekuler) ekuivalen dengan antioksidan standar. Penentuan nilai TCA (Total Antioxidant Capacity) pada sampel dilakukan dengan mencampurkan reagen FRAP dengan ekstrak sampel. Dalam reagen FRAP terdapat campuran TPTZ, FeCl dan buffer asetat, sehingga reagen FRAP merupakan senyawa komplek Fe±TPTZ yang tidak berwarna (berbeda dengan komplek Fe2+ yang berwarna biru). Senyawa Fe±TPTZ mewakili senyawa oksidator yang mungkin terdapat di dalam tubuh dan dapat merusak sel- sel tubuh, sedangkan ekstrak sampel mengandung antioksidan yang kemudian dapat mereduksi Fe±TPTZ menjadi Fe2+-TPTZ tidak akan melakukan reaksi yang merusak sel–sel tubuh. Semakin banyak konsentrasi Fe±TPTZ yang direduksi oleh sampel menjadi Fe2+-TPTZ, maka aktivitas antioksidan dari sampel juga semakin besar (Pisoschil, 2011).
Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh kerusakan pada jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat mikrobiologik. Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan, mengurangi, atau melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun jaringan yang rusak (Agustina, 2015). Tanda terjadinya inflamasi adalah pembengkakan/edema, kemerahan, panas, nyeri, dan perubahan fungsi (Erlina, 2007). Obat anti-inflamasi yang biasa digunakan dibagi menjadi dua jenis, yaitu antiinflamasi steroid dan anti-inflamasi nonsteroid (Widiyantoro,dkk., 2012).
Namun, kedua golongan obat tersebut memiliki banyak efek samping. Anti-inflamasi steroid dapat menyebabkan tukak peptic, penurunan imunitas terhadap infeksi, osteoporosis, atropi otot dan jaringan lemak, meningkat tekanan intra ocular, serta bersifat diabetic, sedangkan anti-inflamasi nonsteroid dapat menyebabkan tukak lambung hingga pendarahan, anemia dan gangguan ginjal (Rinayanti, 2014).
Daun kangkung mengandung zat kimia seperti karoten, hentriakontan dan sistosterol yang menyebabkan daun kangkung berkhasiat sebagai anti-inflamasi, diuretic, dan hemostatik ((Maryani, 2003). Kandungan lain pada daun kangkung yang dapat berpotensi sebagai anti-inflamasi ialah kandungan flavonoidnya, karena senyawa flavonoid diketahui mampu menghambat kerja lipooksigenase, yaitu enzim yang mampu mengubah asam arakhidonat menjadi leukotriene yang berperan pada migrasi leukosit (Wilmana,2008) dan sebagai akibatnya proses peradangan dapat dipersingkat. Steroid yang terkandung pada daun kangkung air diduga lebih berfungsi sebagai efek peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi dibandingkan sebagai antioksidan (Sabri, 2011).
Setiap sel dalam tubuh menjalankan proses metabolisme yang akan menghasilkan radikal bebas yang ditandai dengan pembentukan reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas dapat terbentuk karena dipicu oleh adanya stersor, yaitu sinar UV, radiasi, serta aktivitas fisik. Sinar UV (Ultra violet) akan mengakibatkan terjadinya otooksidasi dari molekul intraselular yang menyebakan terbentuknya gugus radikal bebas (hydroxyl, superoxide, dan sebagainya). Radikal bebas akan merusak enzim superoksida-dismutase (SOD) yang berfungsi mempertahankan fungsi sel sehingga fungsi sel menurun dan menjadi rusak.
Menurut Yaar,dkk(2007) ialah satu efek dari radikal bebas adalah terjadinya proses penuaan kulit (inflamasi) yang dipicu oleh sinar UV (photoaging).
Mekanisme Anti-inflamasi dalam Menghambat Denaturasi Protein
Denaturasi protein merupakan sebuah proses dimana protein kehilangan struktur tersier dan struktur sekundernya karena senyawa eksternal, seperti asam kuat, basa kuat, garam organic terkonsentrasi, pelarut organik, dan pemanasan. Denaturaasi protein dapat menjadi penyebab inflamasi. Senyawa yang dapat menghambat denaturasi protein digunakan sebagai obat antiinflamasi. Beberapa obat anti-inflamasi menunjukan kemampuan menghambat denaturasi protein yang disebabkan oleh suhu (Aditya,2015). Panas dapat digunakan untuk mempengaruhi ikatan hydrogen dan interaksi hirofobik non polar karena panas meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul yang menyusun protein bergerak sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan hydrogen. Selain itu, pemanasan akan membuat protein berubah kemampuan mengikat airnya. Energy panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tetapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptide. Proses ini terjadi pada rentang suhu yang sempit.
Pengujian secara in vitro pengaruh pemanasan terhadap anti-denaturasi Bovine Serum Albumin, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa anti-inflamasi (Tatti,dkk., 2012). Hal ini dikarenakan metode pengujian denaturasi protein merupakan metode yang layak dan sederhana untuk menilai potensial obat anti-inflamasi (Alhakmani,dkk., 2013). Pengahambatan denaturasi protein diketahui dengan pengukuran serapan secara spektrofotometri UV-Vis. Senyawa yang menghambat denaturasi protein lebih besar dari 20% dianggap memiliki aktivitas anti-inflamasi dan dapat dijadiakan sebagai nilai acuan untuk pengembangan obat.
Penentuan Aktivitas Anti-inflamasi menggunakan BSA
Pengujian aktivitas anti-inflamasi secara in vitro dari senyawa aktif dapat dilakukan dengan metode penghambatan denaturasi protein menggunakan Bovine Serum Albumin. Pengujian tersebut dipilih dikarenakan denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab inflamasi. Penghambatan denaturasi protein BSA sebagai aktivitas anti-inflamasi dikarenakan adanya interaksi antara molekul sampel dengan tirosin aromatic, treonin alifatik, dan residu lisin dari BSA (Williams,dkk.,2008). Metode penghambatan denaturasi protein Bovine Serum Albumin (BSA) dimana akan mengalami denaturasi (perubahan struktur pimer dan sekunder) pada saat dipanaskan. Hal ini yang menjadi penanda dimana albumin mengalami kerusakan pada saat diinduksi panas sehingga oleh tubuh dianggap sebagai bahan asing (antingen) oleh karena itu tubuh melakukan perlawanan yaitu melalui mekanisme inflamasi kemudian masing-masing larutan tersebut diukur serapannya pada λ660 nm. Data serapan yang diperoleh selanjutnya dihitung presentase inhibisinya. Larutan dapat memiliki aktivitas anti-inflamasi jika persen inhibisinya lebih dari 20 % (Leelaprakash, 2010).
Flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit sekunder dari polifenol, yang ditemukan pada tumbuhan serta makanan dan memiliki berbagai efek bioaktif termasuk anti virus, anti-inflamasi (Qinghu,dkk., 2016), kardioprotektif, antidiabetes, antikanker (Marzouk, 2016), anti penuaan, antioksidan (Vanessa,dkk., 2014) dan lain – lain.
Flavonoid pada tumbuhan berperan memberi warna, rasa pada biji, bunga, dan buah serta aroma (Mierziak,dkk., 2014), serta melindungi tumbuhan dari pengaruh lingkungan, sebagai antimikroba, dan perlindungan dari paparan sinar UV.
Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, artinya kerangka karbonya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzene tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik 3 karbon (Tiang,dkk., 2018). Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid kedalam sub–sub kelompoknya. Sistem penomoran digunakan untuk membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya (Cook,dkk., 1996). Flavonoid juga termasuk dalam family polifenol yang larut dalam air.
Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogenya atau melalui kemampuanya mengikat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppet,dkk., 1999). Sebagian besar flavonoid memiliki aktivitas antioksidan yang disebabkan oleh adanya gugus hidroksi fenolik dalam struktur molekulnya. Ketika senyawa–senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas, dapat membentuk radikal baru yang stabil oleh efek resonansi inti aromatic. Dengan demikian fase propagasi meliputi reaksi radikal berantai dapat dihambat (Curvelir,dkk., 1991). Senyawa flavonoid seperti quersetin, morin, mirisetin, kaemferol, asam tanat dan asam elegat merupakan antioksidan kuat yang dapat melindungi makanan dari kerusakan oksidatif (Silalahi, 2006).
Flavonoid adalah polifenol dan kerena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Untuk diketahui bahwa sifat kelarutan favonoid ada dua bentuk, yaitu larut dalam pelarut polar dan pelarut yang non polar. Pelarut polar yang umum digunakan adalah etanol (EtOH), methanol (MeOH), butanol (BuOH), aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetil formamida (DMF), air, dan lain – lain. Adanya gula terikat pada flavonoid (bentuk yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air merupakan pelarut yang baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon dan flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan klorofom (Markham, 1998), kelarutan flavonoid antara lain :
flavonoid polimetil atau polimetoksi larut dalam heksan, petroleum eter (PE), klorofom, eter, etil asetat, dan etanol. Contoh : sinersetin (non polar)
aglikon flavonoid polihidroksi tidak larut dalam heksan, Pe, dan klorofom : larut dalam eter, etil asetat, dan etanol; dan sedikit larut dalam air. Contoh : kuesetin (semipolar).
Glikosida flavonoid tidak larut dalam heksan, Pe, klorofom, eter, sedikit larut dalam etil asetat dan etanol; serta sangat larut dalam air, contoh : rutin.
Secara fisis, flavonoid bersifat stabil, namun secara kimiawi ada dua jenis flavonoid yang kurang stabil, yaitu :
Flavonoid O-glikosida; dimana glikon dan aglikon dihubungkan oleh ikatan eter (R-O-R). flavonoid jenis ini mudah terhidrolisis.
Flavonoid C-glikosida; dimana glikon dan aglikon dihubungkan oleh ikatan C-C. flavonoid jenis ini sukar terhidrolisis, tapi mudah berubah menjadi isomernya. Contohnya viteksin, dimana gulanya mudah berpindah keposisi 8. Perlu diketahui, kebanyakan gula terikat pada posisi 5 dan 8, jarang terikat pada cincin B atau C, karena kedua cincin tersebut berasal dari jalur sintesis sendiri, yaitu jalur sinamat.
Kuersetin adalah molekul flavonol dimana merupakan salah satu jenis flavonoid yang aktif sebagai antioksidan. Sifat antioksidan dari senyawa kuersetin mampu menghabisi proses karsinogenik. Senyawa karsinogenik merupakan senyawa yang mampu mengoksidasi DNA sehingga terjadi mutasi. Kuersetin sebagai antioksidan dapat mencegah terjadinya oksidasi pada fase inisiasi maupun propagasi (Winarsi, 2007). Kuersetin memiliki sifat antiradical paling kuat terhadap radikal hidroksil, peroksil, dan anion superoksida (Winarsi, 2007).
Penetapan kadar flavonoid menggunakan metode klorometri dengan prinsip terjadinya pembentukan kompleks antara aluminium klorida dengan gugus keton pada atom C4 dan gugus hidroksi pada atom C3- atau C5 yang bertetangga dari golongan flavon dan flavonol. Senyawa yang digunakan sebagai standart pada penetapan kadar flavonoid ini adalah quersetin, karena quersetin merupakan flavonoid golongan flavonol yang memiliki gugus keton pada atom C4 dan juga gugus hidroksil pada atom C3 dan C5 yang bertetangga (Dyah,dkk., 2014). Pada penetapan kadar flavonoid penambahan kalium asetat adalah untuk mendeteksi adanya gugus 7−hidroksil sedangkan perlakuan inkubasi selama 30 menit yang dilakukan sebelum pengukuran dimaksudkan agar reaksi berjalan sempurna, sehingga memberikan intensitas warna yang maksimal.
Senyawa Fenolik
Fenol merupakan zat kristal tidak berwarna dan memiliki bau yang khas. Fenol adalah senyawa dengan gugus OH yang terikat pada cincin aromatik (Vermeris,dkk., 2006). Senyawa fenol dapat mengalami oksidasi sehingga dapat berperan sebagai reduktor (Hoffman,dkk., 1997). Fenol memiliki sifat lebih asam bila dibandingkan dengan alkohol, tetapi lebih basa daripada asam karbonat karena fenol dapat melepaskan ion H+ menjadikan anion fenoksida C6H5O- yang dapat melarut dalam air. Fenol memiliki titik leleh 41oC dan titik didih 181oC. fenol memiliki kelarutan yang terbatas dalam air yaitu 8,3 gram/100 mL (Fessenden, 1992). Banyaknya variasi gugus yang mungkin tersubsitusi pada kerangka utama fenol menyebabkan variasi struktur luas pada senyawa fenolik. Terdapat lebih dari 8000 jenis senyawa yang termasuk dalam golongan senyawa fenolik dan yang telah diketahui strukturnya antara lain, flavonoid, fenol monosiklik sederhana, fenil propanoid, polifenol (lignin, melanin, tannin) dan kuinon fenolik (Marinova,dkk., 2005).
Senyawa fenolik secara struktual berhubungan dengan flavonoida dan berfungsi sebagai bahan awal (prekusor) biosintesis flavonoida. Senyawa fenol memiliki spectrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda yang disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa tersebut yang dimiliki berbeda jumlah dan porsinya. Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen fenolik yang berbeda pula. Dalam keadaan murni, senyawa fenol berupa zat padat yang tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi akan berubah menjadi gelap. Kelarutan fenol dalam air akan bertambah, jika gugus hidroksil makin banyak. Sifat antibakteri yang dimiliki oleh setiap senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tersebut juga berbeda (Pambayun,dkk., 2007).
Senyawa fenol merupakan kelas utama antioksidan yang berada dalam tumbuh-tumbuhan. Kandungan senyawa fenolik banyak diketahui sebagai terminator radikal bebas dan pada umumnya kandungan senyawa fenolik berkorelasi positif terhadap aktivitas antiradikal (Marinova,dkk., 2011). Polifenol berperan penting dalam stabilisasi oksidasi lipid dan berhubungan langsung dengan aktivitas antioksidan (Huang,dkk., 2005). Senyawa antioksidan alami polifenolik bersifat multifungsional karena dapat bereaksi sebagai penagkap radikal bebas, pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Trilaksani, 2003).
Asam galat (3,4,5-trihidroksi benzoic acid) merupakan salah satu senyawa fenol yang memiliki aktifitas antijamur, antivirus, memilki kemampuan sitotoksik melawan sel kanker tanpa merusak sel tubuh lainya, antioksidan dan agen antikarsinogenik. Kemampuan antioksidan dari asam galat lebih kuat dari trolox, suatu analog dari vitamin E yang larut dalam air (Sohi,dkk., 2003).
Metode Follin-Ciocalteu merupakan salah satu metode yang digunakan dalam analisa kandungan total fenolik pada suatu sampel, dimana asam galat yang direaksikan dengan Follin-Ciocalteu akan menghasilkan warna kuning yang menandakan bahwa sampel mengandung fenol, setelah itu ditambahkan dengan larutan Na2CO3 dan akan terbentuk molybdenum tungsten yang berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang 765 nm (Viranda, 2009). Penambahan Na2CO3 dimaksutkan untuk menjadikan suasana basa, dikarenakan senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Follin-Ciocalteu hanya dalam suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat (Apsari,dkk., 2011). Semakin pekat intensitas warna akan menunjukan kadar fenol dalam fraksi semakin besar (Wungkana,dkk.,2013).
Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Departemen Kesehatan RI, 1995). Menurut “Meteria Medica Indonesia” Simplisia dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelican (mineral).
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau semyawa nabati lainya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhanya dan belum berupa senyawa kimia murni (Departemen Kesahatan Republik Indonesia, 1995;Saifudin,dkk., 2011).
2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat – zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan (Oleumiecoris asselli) dan madu (Mei depuratum).
3. Simplisia pelican atau mineral
Merupakan simplisia yang berupa bahan pelican atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga (Agoes, 2007).
Pada umumnya kadar air simplisia bahan alam harus kurang dari 10% agar bakteri atau jamur tidak dapat tumbuh sehingga simplisia dapat disimpan dalam waktu yang lama. Kandungan air yang tinggi menyebabkan sayur dan buah mengalami kerusakan (perishable) yang disebabkan karena air merupakan media yang cocok sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme penyebab kebusukan (Wirakusumah, 2007).
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan pemisahan suatu zat aktif dari suatu padatan maupun cairan dengan bantuan pelarut. pemilihan pelarut diperlukan dalam proses ekstraksi dikarenakan pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak atau memisahkan subtansi yang diinginkan tanpa melarutkan zat–zat lainnya yang tidak diinginkan (Ayndri,dkk., 2015). Prinsip proses ekstraksi, yaitu pelarut ditransfer dari bulk menuju ke permukaan. Pelarut menembus masuk atau terjadi difusimassa pelarut pada permukaan padatan inert kedalam pori padatan. (Intraparticel diffusion). Zat terlarut (solute) yang ada dalam padatan larut kedalam pelarut karena adanya perbedaan konsentrasi. Campuran solute dalam pelarut berdifusi keluar dari permukaan padatan inert. Selanjutnya, zat terlarut (solute) keluar dari pori padatan inert dan bercampur dengan pelarut yang ada pada luar padatan (Ayndri,dkk., 2015).
Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan terlebih dahulu. Disebutkan oleh Sarker,dkk(2006), bahwa beberapa target ekstraksi, yaitu :
Senyawa bioaktif yang tidak diketahui
Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme
Sekelompok senyawa dalam suatu organism yang berhubungan secara struktual.
Proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang berasal dari tumbuhan adalah sebagai berikut :
Pengelompokan bagian tumbuhan (daun, bunga, batang, akar, buah, biji) pengeringan dan penggilingan bagian tumbuhan.
Pemilihan pelarut (pelarut polar, semi polar, atau non polar).
Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi, refluks, perkolasi, dan sokletasi (Harbone, 2000).
Maserasi adalah suatu metode ekstraksi paling sederhana baik untuk skala kecil maupun untuk skala industry (Agoes, 2007). Maserasi dilakukan dengan memasukkan serbuk (simplisia) tanaman dan pelarut yang sesuai kedalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dalam konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Prinsip metode maserasi adalah cairan penyari akan menembus dinding sel, zat aktif akan terlarut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel, sehingga larutan dengan konsentrasi tinggi akan terdesak keluar sel (Nina,dkk., 2017). Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak yang terbentuk pada saat penghalusan ,ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk kedalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengadukan berulang, dengan tujuan menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan, sedangkan keadaan diam dalam proses maserasi menyebabkan turunya perpindahan bahan aktif. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun sisi lain, metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa–senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014).
Pelarut
Pelarut adalah sutu zat yang dapat melarutkan zat terlarut yang berupa cairan, padatan atau gas yang berbeda secara kimiawi, sehingga menghasilkan suatu larutan.
Macam – macam pelarut
1. Etanol
Etanol (alkohol) merupakan nama suatu golongan senyawa organic yang mengandung unsur C, H dan O. Etanol dalam ilmu kimia disebut sebagai etil alkohol dengan rumus kimia C2H2OH. Rumus umum dari alkohol adalah R-OH.
Secara struktur alkohol sama dengan air, namun salah satu hidrogenya digantikan oleh gugus alkil. Gugus fungsional alkohol adalah gugus hidroksil, OH. Pemberian nama alkohol biasanya dengan menyebut nama alkil yang terikat pada gugus OH, kemudian menambahkan nama alkohol (Siregar, 1998).
Gambar 2. Struktur etanol (Sebayang, 2006)
Karakteristik atau sifat – sifat yang dimiliki oleh etanol meliputi : berupa zat cair tidak berwarna, berbau spesifik, mudah menguap dan terbakar, serta mampu bercampur dengan air dalam segala perbandingan. Etanol juga diketahui memiliki sifat polar, sehingga etanol sering digunakan sebagai pelarut obat, pengawet dalam dunia medis, desinfektan, dan biasanya digunakan sebagai antidotum (senyawa yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan toksisitas) keracunan methanol dan etilen glikol (Arora,dkk., 2007). Titik didih etanol adalah 78,4˚C sehinga memiliki sifat mudah terbakar (Simanjuntak, 2009).Senyawa organic dari bagian tanaman mempunyai afinitas yang berbeda–beda terhadap sifat polaritas pelarut yang digunakan. Pelarut etanol diketahui dapat melarutkan senyawa flavonoid glikosida dan glikosida (Elia,dkk., 2016), flavonoid di dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk mencegah kanker dan flavonoid diketahui baik untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C, mencegah keropos tulang, sebagai antibiotic, dan berfungsi sebagai anti-inflamasi (Haris, 2011).
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Pebrianti, 2012), diperoleh bahwa semakin besar konsentrasi buah pare yang diuji maka semakin besar pula kadar flavonoidnya dan dapat diketahui kemampuan pare untuk mereduksi radikal bebas. Hasil penelitian Muralidhar,dkk.,(2010) menunjukan bahwa flavonoid yang diisolasi dari kulit batang Butea monosperma, yaitu Genisetin dan Prunetin memiliki kemampuan menghambat kerja enzim siklookgenase dan lipookgenase dalam mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin dan leukotrien yang merupakan mediator inflamasi. Pemilihan pelarut etanol sebagai pelarut polar dibandingkan dengan pelarut polar lain juga dikarenakan etanol merupakan pelarut universal yang mudah didapatkan. Menurut Hardiningtyas (2009), meskipun air mempunyai konstanta dielektrikum paling besar (paling polar) namun penggunaanya sebagai pelarut pengekstrak jarang digunakan karena mempunyai beberapa kelemahan seperti menyebabkan reaksi fermantatif (menyebabkan kerusakan bahan aktif lebih cepat), pembekakan sel dan larutannya mudah terkontaminasi.
2. Etil asetat
Etil asetat adalah senyawa organic dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3. Etil asetat merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, serta memiliki aroma khas. Senyawa ini seringkali disingkat EtOAc, dengan et mewakili gugus etil dan OaC mewaili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat dibuat melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam asetat dan etanol. Reaksi esterifikasi Fischer adalah reaksi pembentukan ester dengan cara merefluks sebuah asam karboksilat bersama sebuah alkohol dengan katalis asam. Asam yang digunakan katalis bisanya adalah asam sulfat (Chang, 2003).
Gambar 3. Struktur etil asetat (Chang. 2003)
Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang bersifat polar (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi fischer dari asam asetat dan etanol dan biasanya dibarengi oleh katalis asam seperti sulfat. Etil asetat mampu melarutkan air hingga 3 %, dan larut dalam air hingga kelarutan 8 % pada suhu kamar. Kelarutanya akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam. Sifat fisik etil asetat, ialah titik didihnya 16.6 dan densitasnya 0,897 gr/cm3 (chang, 2003). Pelarut etil asetat merupakan pelarut semi polar yang diketahui dapat melarutkan senyawa flavonoid aglikon (Elie,dkk., 2016). Pemilihan etil asetat sebagai pelarut semi polar dibandingkan pelarut semi polar lain dikarenakan toksisitas rendah, selektivitas tinggi, kemudahan untuk diuapkan, murah (Akbar,2010).
N-heksana
N-heksana (C6H14) adalah pelarut yang bersifat non polar yang tidak berwarna dan bersifat mudah menguap pada titik didih 69˚C, pada T dan P normal berbentuk cair. N-heksana secara umum terdiri dari 6 rantai carbon lurus yang didapatkan dari minyak mentah dan gas alam. Dikatan oleh Schelfian dan Morris (1983), bahwa N-heksana biasa dimanfaatkan sebagai pembuatan makanan termasuk ekstraksi dari minyak nabati. Sifat dari senyawa n-heksana adalah tidak beracun, mudah terbakar, dan berbahaya bagi lingkungan. N-heksan merupakan pelarut yang tidak berwarna dan bersifat non-polar (tidak larut dalam air).
Gambar 4. Struktur N-heksana (schefan,dkk., 1983)
Pelarut n-heksana merupakan pelarut yang bersifat non polar, n-heksana diketahui mampu melarutkan senyawa – senyawa non polar, seperti karatenoid, minyak, terpenoid, dan steroid. Pelarut non polar juga diketahui mampu melarutkan senyawa β-karoten yang diketahui memiliki potensi sebagai antioksidan (Swain, dkk., 2012), akan tetapi terlarutnya β-karoten pada suatu dalam pelarut n-heksana tidak memberikan efek yang begitu besar dikarenakan β-karoten tidak stabil terhadap cahaya dan udara (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometer UV-Vis merupakan pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan electron pada kulit terluar ke tingkat energy yang lebih tinggi. Spektrofotometri UV-VIis biasanya digunakan untuk molekul ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Panjang gelombang (λ) sendiri merupakan jarak antara satu lembah dan satu puncak, sedangkan frekuensi adalah kecepatan cahaya dibagi dengan panjang gelombang (λ). Bilangan gelombang (v) adalah satu satuan per panjang gelombang (Dachriyanus, 2004).
Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis adalah apabila cahaya monokromatik melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (l), sebagian dipantulkan (lr), dan sebagian lagi dipancarkan (lt) (Yanlinastuti, 2016). Aplikasi rumus tersebut dalam pengukuran kuantutatif dilaksanakan dengan cara komparatif menggunakan kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi deret larutan alat untuk analisa suatu unsur yang berkadar rendah baik secara kuantitatif atau kualitatif. Pada penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang dihasilkan spectrum dari suatu unsur tertentu pada panjang gelombang tertentu, sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi yang dihasilkan dari spectrum dengan adanya senyawa pengompleks sesuai unsur yang dianalisanya. Adapun yang melandasi pengukuran spetrofotometer ini adalah hukum Lambert-Beer, yaitu bila suatu cahaya monokromatis dilewatkan melalui suatu media yang transparan, maka intensitas cahaya yang ditransmisikan sebanding dengan tebal dan kepekaan media larutan yang digunakan (Yanlinastuti, 2016).
Dijelaskan oleh Wayan (2015), bahwa spektrofotometer UV-Vis umumnya digunakan untuk :
Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan ausokrom dari suatu senyawa organik.
Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa organik.
Mampu menganalisis senyawa organic secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.
Comments
Post a Comment